Pensiunan PT Chevron Pacific Indonesia. Menjadi Pemerhati aspal Buton sejak 2005.

Merdeka Itu Rukun, Bahagia Itu Bersama

Sabtu, 16 Agustus 2025 17:10 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Kemerdekaan Indonesia
Iklan

Kemerdekaan seharusnya bukan panggung seremoni, tetapi ruang kebersamaan. Bahagia bukan laporan ekonomi, tetapi rasa syukur rakyat jelata.

***

Di sebuah kampung sederhana, Pak RT memasang poster di atas pagar rumahnya. Tidak mewah, tidak bombastis, hanya selembar spanduk kecil dengan kalimat sederhana: Merdeka Itu Rukun, Bahagia Itu Bersama. Kalimat yang mungkin dianggap biasa, bahkan cenderung lugu. Namun, jika dicermati, ada kejujuran yang meresap dalam kata-kata itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bandingkan dengan semboyan resmi yang diumumkan Pemerintah pada peringatan HUT ke-80 RI: Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju. Semboyan ini penuh wibawa, terstruktur, baku, bahkan bisa menjadi bahan pidato kenegaraan. Namun, apakah semboyan ini jujur mewakili kenyataan rakyat? Atau sekadar jargon yang mengulang mimpi yang belum pernah kita genggam sepenuhnya?

Mari kita bedah. “Merdeka Itu Rukun” terdengar sangat membumi. Pak RT tampaknya menyadari bahwa kemerdekaan bukan soal bendera di istana atau parade di televisi. Kemerdekaan, dalam kacamata rakyat kecil, adalah ketika tetangga tidak saling curiga, tidak saling sikut, dan tidak saling benci. Rukun adalah kemerdekaan paling nyata.

Sementara itu, “Bersatu Berdaulat” terdengar agung. Tetapi bersatu dalam arti apa? Apakah bangsa ini benar-benar bersatu ketika perbedaan politik membuat keluarga terpecah belah? Apakah kita berdaulat ketika harga pangan masih dikendalikan impor, termasuk beras, kedelai, gula, hingga aspal jalanan kita? Apakah berdaulat berarti masih bergantung pada utang luar negeri?

“Bahagia Itu Bersama” adalah filosofi sederhana tetapi dalam. Bahagia bukan soal statistik pertumbuhan ekonomi atau laporan surplus anggaran. Bahagia adalah ketika seorang bapak bisa makan bersama keluarganya tanpa khawatir besok anaknya tidak punya uang sekolah. Bahagia adalah rasa syukur kolektif, bukan angka di tabel BPS.

Bandingkan dengan “Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju.” Kalimat ini begitu normatif, seakan rakyat sedang diajak berfantasi. Sejahtera menurut siapa? Apakah rakyat Papua yang masih kekurangan gizi merasa sejahtera? Apakah petani yang menjual gabah di bawah harga pokok merasa sejahtera? Atau sejahtera itu hanya tercermin di gedung-gedung pencakar langit Jakarta yang dihiasi mal mewah dan jalan tol berbayar?

Semboyan Pak RT lahir dari pengalaman sehari-hari. Ia tidak membaca buku teori ekonomi, tidak mengutip dokumen resmi negara. Ia hanya tahu bahwa tanpa kerukunan, tidak ada kemerdekaan sejati. Tanpa kebersamaan, kebahagiaan hanyalah fatamorgana.

Sementara semboyan Pemerintah lahir dari ruang rapat, mungkin dengan tim branding, dengan bahasa yang harus terdengar heroik. Ada jarak yang lebar antara makna slogan itu dengan realitas yang dihadapi rakyat di pasar, di sawah, di tambang, dan di jalanan.

Kemerdekaan yang sejati seharusnya dirasakan di meja makan rakyat, bukan di podium istana. Itulah mengapa semboyan “Merdeka Itu Rukun, Bahagia Itu Bersama” terasa lebih tulus. Ia tidak menjanjikan hal yang sulit diwujudkan, tidak meminjam istilah abstrak seperti “maju” atau “berdaulat”. Ia hanya bicara tentang hal paling mendasar yang bisa dijangkau semua orang.

Apakah benar kita bersatu? Faktanya, politik identitas masih menghantui. Media sosial penuh caci maki. Keluarga bisa pecah gara-gara beda pilihan di bilik suara. Jika bersatu adalah indikator kemerdekaan, mungkin kita belum benar-benar merdeka.

Apakah benar kita berdaulat? Jika harga BBM masih menunggu keputusan negara lain, jika cadangan pangan masih rapuh, jika aspal Buton tidak dipakai sementara kita impor jutaan ton aspal minyak, di mana letak kedaulatan itu? Kata “berdaulat” terasa retoris, indah didengar, tetapi sulit dibuktikan.

Apakah benar rakyat sejahtera? Masih banyak yang tidur di kolong jembatan, masih banyak guru honorer yang gajinya tidak sampai UMR, masih banyak anak yang putus sekolah karena biaya. Jika itu disebut sejahtera, mungkin definisi kesejahteraan sudah terlalu jauh dari kenyataan rakyat.

Apakah benar Indonesia maju? Jalan tol baru, kereta cepat, dan gedung-gedung tinggi memang bisa disebut kemajuan. Tetapi apakah kemajuan itu dirasakan merata? Atau hanya terpusat di Jawa, sementara daerah lain masih gelap gulita tanpa listrik dan internet?

Di titik ini, kita perlu bertanya: slogan siapa yang lebih jujur? Pak RT dengan “Merdeka Itu Rukun, Bahagia Itu Bersama” atau Pemerintah dengan “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju”?

Slogan Pak RT mungkin tidak spektakuler, tetapi ia jujur. Ia tidak menutup mata terhadap realitas bahwa kemerdekaan harus dimulai dari hal yang paling sederhana: rukun antarwarga, kebahagiaan yang dibagi bersama. Ia tidak menjual mimpi besar, tetapi menawarkan jalan kecil yang bisa ditempuh bersama.

Slogan Pemerintah mungkin tampak meyakinkan, tetapi di baliknya ada beban sejarah panjang: janji-janji yang tak kunjung ditepati. Sejak kemerdekaan, rakyat sudah dijanjikan kesejahteraan, kemajuan, dan kedaulatan. Namun hingga 80 tahun merdeka, janji itu masih setengah jalan.

Perbedaan paling mendasar adalah soal kejujuran. Pak RT berbicara dengan hati, Pemerintah berbicara dengan kalkulasi politik. Pak RT melihat tetangganya, Pemerintah melihat kamera televisi.

Kemerdekaan seharusnya bukan panggung seremoni, tetapi ruang kebersamaan. Bahagia bukan laporan ekonomi, tetapi rasa syukur rakyat jelata. Di titik ini, semboyan Pak RT terasa lebih otentik.

Kita tidak sedang meremehkan Pemerintah. Tetapi justru melalui perbandingan ini, kita bisa menilai betapa jauhnya pemerintah dari denyut nadi rakyat. Betapa rakyat hanya butuh hal sederhana: rukun dan bahagia bersama.

Maka, jika ditanya semboyan mana yang paling jujur dan tulus? Jawabannya jelas: semboyan Pak RT. Karena kemerdekaan sejati bukan tentang jargon besar, melainkan tentang kesederhanaan yang dirasakan di hati rakyat kecil.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Indrato Sumantoro

Pemerhati Aspal Buton

6 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler